
Suatu sore, tanggal 12 Februari, saat itu saya sedang memimpin penyerangan terhadap Pos Besar tentara Belanda di Jembatan Bantar, seorang anak buah datang menghadap menyerahkan sepucuk surat yang dihantar oleh kurir. Ternyata surat dari Letkol Soedarto, Komandan SWK 106. Saya diminta untuk datang ke Kulon Progo, di Desa Semaken, ada pertemuan besoknya dengan Komandan WK-III Letkol Soeharto. Malamnya, komando pertempuran saya percayakan ke Letnan Harjosoedirjo. Besoknya, hari Minggu pagi-pagi sekali saya berangkat ke Kulon Progo ditemani Bob Mandagie. Sengaja saya bawa Mandagie karena memang ia kenal daerah Kulon Progo dan bisa berbahasa Jawa. Ini penting buat perjalanan di wilayah pedalaman. Di Kulon Progo, kami dijemput oleh utusan Soeharto dan mengantar kami ketempat pertemuan. Ternyata yang akan rapat cuma kami bertiga, Soharto, Soedarto, dan saya.
Tanpa membuang waktu, Soeharto langsung memulai pertemuan dan masuk kepokok rapat. Strategi kedepan, sambil mengevaluasi langkah-langkah yang sudah dan sedang dilaksanakan. Kedepan, sesuai dengan strategi umum perang gerilya, tentu saja juga mengenai serangan umum lagi. Itu memang sudah digariskan, sudah menjadi teori umum dalam konsep perang gerilya. Langsung saja kemudian saya ajukan usul,
“Pak Harto, kita kan sudah beberapa kali melakukan serangan umum, tapi semuanya dimalam hari. Bagaimana kalau kemudian kita lakukan pada siang hari, supaya mendapat perhatian luas, diberitakan dikoran-koran, sebab berita di Koran selama ini hanya menguntungkan pihak Belanda.”
Soeharto setuju, “Itu baik. Serang pada waktu siang,” katanya sambil mangut-mangut.
“Baiklah, nanti dipikirkan cara-caranya. Harinya akan saya tentukan” sambung Pak Harto lagi.
Kami bertiga kemudian masuk ke pembahasan teknis untuk pelaksanaan serangan umum. Masing-masing memberi masukan ini itu. Soeharto mengatakan ke Letkol Soedarto,
“Nanti waktu serangan ke dalam kota, Pak Darto mengikat Belanda yang di Bantar. Supaya mereka ndak pergi membantu temenya yang kita serang dalam kota”
“Siap!” kata Soedarto.
Seperti beberapa hal yang disampaikan Soeharto pada kami, bukan lagi sekadar usul tentang strategi, melainkan sudah harus kami terima sebagai perintah. Pos Belanda di Jembatan Bantar itu memang adakalanya dijaga sampai lebih 1 Kompi. Mereka sering kami serang, seperti juga penyerangan yang saya pimpin beberapa hari terakhir ini. Tapi Belanda tidak mau meninggalkan posisi disitu, karena merupakan gerbang penghubung Yogyakarta dengan semua wilayah-wilayah di barat.
1 Maret 1949 Pukul 01.00 - 06.00 - 12.00
Perintah operasi serangan umum kelima yang akan dilakukan pada hari tanggal 1 Maret saya terima tidak melalui surat yang diedaran Markas WK-III melalui kurir, melainkan langsung oleh Komandan WK-III Letkol Soeharto. Ya, Pak Harto memang sering datang ke markas saya di Godean. Mungkin karena dia merasa sreg kalau selalu bisa memastikan langsung pasukan terbesar yang paling dekat saat penyerbuan ke markas utama tentara Belanda dalam kota Jogja. Setiap kami ngobrol, dia pasti menanyakan satu persatu keadaan pasukan-pasukan yang tergabung dalam SWK 103A ini. Tapi mungkin juga sebab sederhana saja, daerah Godean adalah kampung halamannya. Hari-hari menjelang 1 Maret, Pak Harto semakin sering singgah berkunjung ke Markas saya.
Waktu markas kami diserbu oleh pasukan Belanda tanggal 27 Februari pagi, Pak Harto juga ada. Untung dia cepat menyelamatkan diri, padahal serangan Belanda ini terbilang cukup besar. Belanda sudah sangat geram pada kami, karena pasukan-pasukan dari Godean tidak hentinya menyerang kedudukan pos-pos mereka, terutama Jembatan Bantar. Tentara Belanda, walaupun dengan konvoi takut keluar kota, apalagi kewilayah barat, karena pasti akan kami sergap. Penyerbuan ini dapat kami pukul mundur, selanjutnya kami berbalik mengejar mereka secara terbirit-birit tentara Belanda melarikan diri dan bertahan dengan kuatnya di Jembatan Bantar. Satu pertanyaan saya, mengapa Belanda bisa mengetahui dengan detail posisi pasukan-pasukan saya? Rupanya mereka sudah lama menyusupkan mata-mata, mempelajari posisi pasukan dan markas komando saya di Godean.
Pagi-pagi Belanda menyerbu dengan kekuatan besar mengepung dari beberapa jurusan, disertai bantuan tembakan dari pesawat udara. Dalam duel sengit jarak dekat di daerah perbukitan Godean, dipihak kami gugur 3 orang. Yaitu Letnan Bos Kandou, Sersan Jack Runtukahu, dan Ipda Toet Harsono. Bos Kandou adalah sorang perwira lapangan jago perang kami, ia pernah mengikuti pendidikan di Akademi Militer. Runtukahu juga seorang jagoan perang pemberani yang sudah bersama dengan kami sejak di KRIS lagi. Ipda Harsono bersama saya saat tertembak. Waktu itu, musuh sudah mengepung kami, tapi saya cepat melompat kebelakang tiarap tepat pada detik terlihat kilasan peluru dari permukaan air. Beberapa angota kami patah kaki lantaran nekad melompat ke dalam jurang menghindari sergapan Belanda.
Mereka yang gugur kemudian dikebumikan mengikut upacara keagamaan masing-masing. Pemakaman Bos Kandou juga dilaksanakan, banyak penduduk yang menghadiri kebaktiannya. Ternyata banyak juga penduduk disekitar Sektor Barat yang beragama Kristen. Mereka ikut menangis, sebab walaupun Kandou dan Jack adalah pendatang, tapi sudah akrab dan sering bantu-bantu pekerjaan warga.
Besoknya sejak pagi, perhatian kami tertuju pada persiapan-persiapan serangan umum. Jam 7 malam saya kumpulkan staf dan semua komandan pasukan, termasuk komandan pasukan yang mengungsi dan berlindung di Sektor Barat. Rapat dilaksanakan di Pasar Jering. Sengaja dibikin malam hari, karena harus menunggu los-los yang sudah kosong, sudah tidak ada yang berjualan. Disini, saya memberikan briefing terakhir untuk pelaksanaan operasi besok pagi. Gerakan pasukan ke dalam kota akan dilepas mulai tengah malam nanti.
Sekitar jam 01.00 pasukan sudah bergerak kearah timur, menuju kota Jogja. Tidak dalam barisan bersaf banyak, melainkan berbanjar satu persatu, ada juga yang berdua. Sengaja saya intruksikan agar tidak bersaf banyak karena akan berisik tentunya. Pasukan berjalan memanjang menembus kegelapan malam. Saya berjalan cepat disamping barisan panjang ini yang langsung dipimpin oleh komandannya masing-masing. Semua kekuatan Brigade XVI, simpatisan pejuang, pasukan-pasukan luar yang berlindung di sektor barat, ALRI, Brigade Mobile Kepolisian, satuan AURI, Resimen Hasanuddin, Resiman Pattimura, Resimen Bali, pasukan Hizbullah, bergabung menjadi satu dalam barisan yang sangat panjang. Inilah kekuatan terbesar dalam serangan umum ini.
Saat melewati sebuah pasar, masih di daerah Godean bagian timur, dari kegelapan terdengar di depan saya seruan-seruan memberi salam, “Merdeka!...Merdeka!...Merdeka! ”. Ternyata anak buah saya didepan melihat Letkol Soeharto sedang berdiri sendirian dipinggir jalan. Anak-anak memang pada umumnya sudah mengenal Komandan WK-III ini karena sering berkunjung kemarkas kami. Saya langsung menghampirinya, dia bertanya,
“Tje, ini pasukannya?“
“Ya, ini,” saya menunjuk mereka yang terus berjalan kearah timur.
“Banyak juga ya,” sambung Pak Harto menyaksikan barisan panjang pasukan saya yang seperti tidak ada putus-putusnya.
“Ya..masih banyak dibelakang Pak.“ balas saya.
Kami berbincang-bincang sebentar sambil mengamati pasukan yang terus menerus mengalir melewati kami. Hanya sebentar, saya kemudian pamit. Saya ingin berada tepat di depan pasukan saat menjelang detik-detik penyerbuan yang sudah ditetapkan. Saya hanya membawa sepucuk pistol yang selalu tergantung dipinggang saya, sesuai tradisi komando saja. Tapi kalau saat mulai pertempuran, saya akan menggunakan senjata laras panjang juga.
Sesuai dengan intruksi Letkol Soeharto, semua pasukan yang akan menyerbu mengenakan sehelai janur-daun kelapa yang masih berwarna kuning muda, diikat dipangkal lengan kiri atau meneggantung dibahu. Dengan sandi ini pasukan gerilya maju mengalir dari seluruh penjuru mengepung kota Jogja dari semua arah.
Belum pukul 05.00 semua pasukan SWK 103A dari Sektor Barat sudah berada ditepian barat kota Jogja. Sesuai dengan rencana saya, mereka lalu memecah dalam dua kelompok besar. Kelompok pasukan yang pertama lebih dulu bergerak cepat kekiri untuk memasuki kota dari arah utara. Sedangkan saya yang memimpin kelompok besar lainnya maju terus perlahan-lahan mulai mengambil posisi didalam kota. Semua pasukan memasuki kota melalui jalur dan kearah sasaran, dipandu oleh personil dari Sektor 1 dan 2. Pasukan dari dua sektor ini yang dikomandani oleh Kapten Runtunuwu dan Letnan Sigar ini memang yang paling menguasai seluk beluk jalur didalam kota, karena 2 sektor ini semenjak gerilya saya tempatkan menguasai teritori daerah gerilya kami paling timur, dekat kota. Selama bergerilya, anak buah Runtunuwu dan Sigar ini mondar mandir sesukanya kedalam kota tanpa takut. Tak selalu tugas untuk mata-mata, sering cuma buat keperluan-keperluan kecil, seperti nonton bioskop, atau membeli makanan yang enak-enak, Mereka memang rata-rata bernyali besar. Banyak dari mereka adalah termasuk Pasukan Khusus Combat Brigade XVI.
Makin mendekati sasaran pasukan mulai mengendap-endap, bahkan lainnya harus tiarap. Semua sudah siap dengan senjata masing-masing dalam jarak tembak yang efektif. Sekitar pukul 05.45 semua pasukan sudah dalam posisi senjata terbidik pada titik sasaran masing-masing. Tinggal menunggu saat yang tepat, yaitu sirene berakhirnya jam malam pukul 06.00 tepat, sirene ini dibunyikan tiap hari oleh pemerintah pendudukan Belanda di Jogja. Jadi tentara Belanda sendiri yang akan memberikan komando bagi semua pasukan kami untuk mulai menembaki mereka.